Hoegeng



Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak mempan disogok: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng!

Itu hanya joke di kalangan aktivis antikorupsi. Namun, harus diakui, dalam situasi sekarang sangat sulit mencari polisi yang tak mempan disogok, hidup hanya dari gaji, dan setelah pensiun tidak berbisnis.

Bahkan jenderal polisi yang dianggap bersih sekali pun hidupnya cukup mewah. Bandingkan dengan Hoegeng Imam Santoso.

Saat menjadi Kapolri, Hoegeng tetap hidup sederhana. Rumahnya tak dijaga oleh pengawal, dan tak ada perabotan mewah di dalamnya.

Setelah dicopot oleh Presiden Soeharto, dia menolak di-dubes-kan. Hidup hanya dari pensiun, tanpa punya rumah dan mobil pribadi.

Tak sampai hati melihat hidupnya yang teramat sederhana, akhirnya para sejawatnya di Polri urunan untuk membelikannya mobil. Sedangkan rumah yang selama ini ditempatinya, dibeli dari pemiliknya oleh Mabes Polri, untuk kemudian dihibahkan ke Hoegeng.




Hoegeng Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah salah satu tokoh militer Indonesia dan juga salah satu penandatangan Petisi 50.

Dia masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu, dia belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Baru dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Mas Hoegeng di luar kerja terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors. Selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele. Sering terdengar di Radio Elshinta dengan banyolan khas bersama Mas Yos.

Banyak hal terjadi selama kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Kedua, adalah soal perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak).

Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.

Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971, dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.

POLISI adalahinstitusi modern. Polisi tidak dikenal di dunia kangouw (persilatan). Pada cerita silat China, seperti dianalisis Denys Lombard, tidak ada polisi. Bila sebuah keluarga dibunuh musuhnya, si anak yang kebetulan selamat akan berguru kepada tokoh sakti dan akhirnya membalas dendam.

Seperti
dikemukakan penulis Perancis, Casamayor, polisi adalah lembaga yang tak
tergantikan. Polisi ibarat sepatu yang senantiasa dibutuhkan. Bila
sepatu itu kemasukan air-karena di Jakarta sering banjir-apakah sepatu
itu akan dibuang dan kita berjalan dengan kaki telanjang? Sepatu itu
dikeringkan dengan menjemurnya, bila ada yang sobek dijahit, tetapi
sepatu itu tetap diperlukan untuk melindungi kaki dari beling, paku,
dan benda tajam lain.

Persepsi seperti
ini yang sebaiknya dikembangkan dalam menghadapi berbagai tudingan
terhadap berbagai kelemahan polisi saat ini. Dalam konteks ini bagus
pula bila diangkat keteladanan seorang jenderal polisi, Hoegeng, untuk
dicontoh.

HOEGENG lahir di
Pekalongan, 14 Oktober 1921. Nama pemberian ayahnya adalah Iman
Santoso, waktu kecil ia sering dipanggil bugel (gemuk), lama-kelamaan
menjadi bugeng, akhirnya berubah jadi hugeng. Setelah dewasa bahkan
sampai tua, ia tetap kurus.

Ayahnya, Sukario
Hatmodjo, pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan
Ating Natadikusumah, kepala polisi, dan Soeprapto, ketua pengadilan.
Mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur, profesional, dan memberi
andil bagi penumbuhan sikap menghormati hukum bagi Hoegeng kecil,
bahkan karena kagum pada Ating-yang gagah, suka menolong orang, dan
banyak teman-Hoegeng ingin menjadi polisi.

Setelah lulus
PTIK tahun 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur. Tugas kedua sebagai
kepala reskrim di Sumut yang menjadi batu ujian bagi seorang polisi
karena daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut
secara unik. Rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong
judi. Ia menolak memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas.
Masih ngotot, rumah dinas itu lalu dipenuhi dengan perabot oleh tukang
suap. Kesal, ia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali
oleh pemberi. Karena tidak dipenuhi, perabot itu dikeluarkan secara
paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan.

Maka, gemparlah
Kota Medan karena ada seorang kepala polisi tidak mempan disogok. Di
Medan, Hoegeng mengembangkan forum antikorupsi yang terdiri atas aparat
hukum bersama tokoh sipil dan militer, yang mengadakan rapat sepekan
sekali.

Seusai bertugas
di Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta. Untuk sementara ia dan istri
menginap di garasi rumah mertuanya di Menteng. Ia lalu ditugaskan
sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Selepas dari sini atas usul Sultan
Hamengku Buwono IX, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam
kabinet "seratus menteri" Juni 1965. Tahun 1966 ia kembali ke
kepolisian sebagai deputi operasi dan tahun 1968 menjadi panglima
angkatan kepolisian. Dalam jabatan ini, terjadi beberapa kasus yang
menarik perhatian publik, seperti Sum Kuning, penyelundupan Robby
Tjahyadi, dan tewasnya Rene Coenrad.

Kasus
tertembaknya mahasiswa ITB, Rene Coenrad, merupakan salah satu lembaran
hitam taruna Akabri/kepolisian. "Kesalahan berat dalam kasus ini adalah
digunakannya senjata api oleh salah seorang taruna Akpol…," tulisnya
dalam biografi Hoegeng yang akan terbit. Namun, yang diajukan sebagai
terdakwa Brigadir Dua Djani Maman Surjaman yang dihukum 1 tahun 6
bulan. Ironisnya, sang taruna itu konon berhasil merintis karier sampai
menjadi jenderal polisi.

Keuletan
menuntaskan kasus besar itu menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh
Presiden Soeharto. Sebelumnya Hoegeng merintis pemakaian helm bagi
pengendara motor yang saat itu menjadi polemik. Kini terasa, instruksi
itu memang bermanfaat.

Hoegeng ditawari
jabatan duta besar di Eropa, tetapi ia menolak. Alumnus PTIK tahun 1952
ini lebih senang menjadi orang bebas, ia tampil dengan grup musik
Hawaian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu. Namun,
musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai dengan
"kepribadian nasional" oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo sehingga ia
tidak boleh tampil lagi. Lalu, Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya
yang kritis dalam Petisi 50. Ia tetap sederhana. Saat rapat kelompok
ini di rumah Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng naik bajaj.

APA yang
mendorong Hoegeng menjadi tokoh yang bersih dan antikorupsi? Barangkali
pendiriannya yang ditanamkan oleh ayahnya, "yang penting dalam
kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan
perbuatan yang mencemarkan." Ayahnya tidak sekadar memberi nasihat,
tetapi bersama para sahabat ayahnya memberi teladan. Ayahnya seorang
birokrat Belanda yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah
dan rumah pribadi.

Relevan dengan
kondisi sekarang untuk merenungkan pendapat Hoegeng, "Pemerintahan yang
bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air
untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala."

Terhadap pemimpin
yang kini saling berebut kekuasaan, tepat ujaran Hoegeng, "It’s nice to
be important, but it’s more important to be nice". Ucapan yang sama
sering dilontarkan penyiar Ebet Kadarusman. Kita tak ingin mengultuskan
Hoegeng Iman Santoso. Sebagai manusia ia tentu memiliki kekurangan.
Namun, dalam masa transisi menuju tegaknya hukum di negara ini, ia
adalah seorang tokoh Indonesia yang patut diteladani.

http://www2.kompas..com/kompas-cetak...ni/1120336.htm

Judul buku: Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa

Penulis: Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, Imran Hasibuan

Penerbit: PT Bentang Pustaka, 2009

Tebal: xvii + 334 halaman

0 comments:

Post a Comment

Your Comment


ShoutMix chat widget